Senin, 20 September 2010

Peradilan Agama dalam wadah Negara Pancasila: Dialog RUUPA

Peradilan Agama dalam konstitusi Baru
(Resensi Buku: Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia karya Dr. Jaenal Aripin, MA)
Image Judul : Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia
Disertasi Dr Jaenal Aripin, MA
Pengarang : Dr. Jaenal Aripin, MA.
Penerbit : Kencana
Tahun Terbit : September 2008
Tebal : 578 Hal

Reformasi tahun 98 memberikan dampak yang sangat besar bagi bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali bidang hukum. Empat kali amandemen UUD 1945 cukup memberikan gambaran betapa perubahan tersebut terjadi secara mendasar, yaitu pada level konstitusi. Dalam tatanan konstitusi baru pasca amandemen, paradigama pembagian kekuasaan (devision of power) yang menjiwai UUD 1945 pra amandemen berubah menjadi paradigma pemisahan kekuasaan (separation of power) yang tegas dalam konstitusi baru.
Dalam kondisi seperti inilah, Peradilan Agama, Sebagai sebuah lembaga peradilan yang mempunyai sejarahnya yang unik ingin dipotret secara lengkap oleh Dr. Jaenal Aripin, MA. dalam bukunya Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Dikatakan unik, karena keberadaanya yang selalu mengundang pro dan kontra, pasang surut dan naik turun dalam sejarah peradilan di Indonesia. Hal ini dikarenakan karakteristik keislamannya yang inheren dalam peradilan ini.
Oleh karena adaptasinya dengan iklim politik di Indonesia yang berwujud dengan kolonialisme pada abad ke-17, konsep Negara bangsa (nation state) pada awal abad ke 20, benturan peradaban (clash of civilization) pada akhir abad ke 20 serta demokrasi dan Negara hukum diawal abad 21, yang mengharuskan ia selalu beradaptasi dengan kondisi dominan tersebut karena ia bukan merupakan bagian dari konsep-konsep modern yang baru itu.
Sebagai sebuah buku yang berasal dari desertasi pada program pasca sarjana UIN syarif Hidayatullah Jakarta, karya ini tentu memiliki ciri-ciri umum layaknya sebuah karya ilmiah serius layaknya sebuah disertasi dengan halaman yang tebal, kerangka teoritik yang banyak, dan sumber pustakanya yang cukup lengkap.
Dr. Jaenal berhipotesis bahwa perkembangan eksistensi peradilan agama (sebagai sebuah system) lebih dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat muslim ketimbang faktor politik hukum, meskipun tetap saja faktor politik hukum tak bisa dilepaskan dari dinamika sejarah panjang peradilan agama, terlebih lagi Indoensia adalah merupakan negara hukum yang jelas-jelas dinamikanya berubah sedemikian rupa setelah terjadinya reformasi.
Sebagai sebuah eleman kekuasan kehakiman sedikit banyak berpengaruh pada eksistensi peradilan agama, kemudian ia melontarkan pertanyaan, apakah benar dinamika politik masa reformasi memberikan pengaruh signifikan terhadap peradilan agama, atau justru tidak memberikan pengaruh apa-apa?
Beranjak dari hipotesis ini, dengan menggunakan pendekatan hukum tata negara Dr. Jaenal memulai mengupas permasalahan dengan Bab pendahuluan yang mengulas tentang kaitan peradilan agama dan latar belakang reformasi, dan kaitannya dengan problem eksistensi, serta uraian tentang kajian-kajian akademis terdahulu yang mengupas permasalahan tentang peradilan agama serta bingkai keilmuan, metode dan kerangka teoritik yang digunakan dalam penelitiannya ini.
Ada beberapa teori besar yang digunakan Dr. Jaenal dalam membahas masalah posisi dan eksistensi Peradilan Agama dalam system kenegaraan Indonesia, diantaranya adalah teori trias politika dan pemisahan kekuasaan (separation of power) yang diungkapkan oleh John Locke dan Montesquieu. Sebelum reformasi dan empat kali amandemen UUD 1945, sistem kenegaraan kita memang sudah memiliki elemen-elemen dasar trias politika, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasan yudikatif, namun fungsi-fungsi idealnya tidak berjalan efektif mengingat begitu kuat dan dominannya unsur kepemimpinan eksekutif di zaman presiden Soeharto, sehingga pada masa ini sistem kenegaraan kita dikenal dengan system pembagian kekuasaan (division of power) yang tumpang tindih.
Pasca reformasi sistem pembagian kekuasaan ini (division of power) dirombak sedemikian rupa mengarah pada sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) sehingga fungsi-fungsi kelembagaan Legeslatif dan Yudikatif bisa berjalan mandiri, kuat dan efektif sebagaimana mestinya.
Kekuasaan Yudikatif (Kekuasaan kehakiman) pada era reformasi mengarah pada upaya membentuk system peradilan mandiri dengan apa yang dikenal dengan one roof system atau system peradilan satu atap. Sebelumnya empat lingkungan peradilan secara teknis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung namun secara organisasi finansial berada dibawah departemen yang berbeda, Departemen Kehakiman untuk peradilan umun dan peradilan tata usaha negara, Departemen Pertahanan dan Mabes TNI untuk peradilan militer dan Departemen Agama bagi peradilan agama.
Sistem peradilan satu atap menghendaki semua lembaga peradilan baik secara teknis yudisial maupun organisasi finansial berada di bawah pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi yaitu Mahkamah Agung. Proses peralihan kekuasaan ini meskipun berat tetap berjalan dengan lancar, kecuali peradilan agama yang proses peralihannya sedikit mengalami perdebatan panjang, Departemen Agama dan MUI pada awalnya tidak mau melepaskan peradilan agama karena muatan-muatan historisnya yang panjang dan sangat melekat dengan umat Islam, mereka menghawatirkan ciri-ciri khas peradilan Islam ini akan memudar dan akhirnya hilang, namun anehnya, mayoritas aparatur peradilan agama sendiri sebagaimana diwakili para ketua Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia menghendaki penyatu atapan dilakukan dengan segera, alasan yang mendasarinya adalah masalah finansial yang terkait dengan pengelolaan peradilan agama itu sendiri yang dianggap sangat tidak memadai untuk sebuah system peradilan yang modern dan mandiri selama dibawah Departemen Agama.
Tentu permasalahan ini tidak bisa ditujukan pada kurangnya perhatian Departemen Agama terhadap peradilan agama, hal ini lebih disebabkan pos anggaran yang sangat terbatas pada masa-masa sebelumnya.(hal.302).
Teori besar selanjutnya adalah tentang Demokrasi dan Negara hukum. Bila merujuk pada teori ini apa yang terjadi dengan peradilan agama tersebut diatas menurut Dr. Jaenal sudah sangat sesuai, terutama biila dilihat dari satatus dan kedudukannya. Pemisahan kekuasaan negara merupakan prasyarat mutlak bagi tegaknya demokrasi dan terciptanya supremasi hukum dalam sebuah negara hukum. Karena itu status dan kedudukan peradilan agama ketika sudah berada dibawah struktur kekuasaan kehakiman, merupakan wujud nyata dan tuntutan yang harus ada dari negara demokrasi dalam rangka menciptakan supremasi hukum, mengingat intervensi eksekutif secara struktural sudah dieleminir.(hal.493).
Lebih intens dalam pembahasan tentang detail-detail peradilan agama Dr. Jaenal menggunakan teori tiga elemen sistem hukum (three elemens law system) yang dikemukakan oleh Lawrence Meier Friedman yang meliputi struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).
Pada bagian struktur hokum, di era reformasi peradilan agama mengalami penguatan kelembagaan yang semakin mengokohkannya sebagai sebuah peradilan yang mandiri dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dilihat dari aspek ini jelas peradilan agama status dan kedudukannya sudah kuat sebagai pelaksana kekuasaaan kehakiman sebagaimana peradilan-peradilan lain, dengan demikian tidak akan ada perdebatan lagi mengenai kehadiran peradilan agama dalam system kekuasaan kehakiman. peradilan agama adalah pranata konstitusional.
Menjalankan peradilan agama menjadi tanggung jawab dan kewajiban konstitusional. Karena itu, penghapusannya hanya mungkin kalau ada perubahan UUD. Dan ini merupakan sesuatu yang sulit dibayangkan akan terjadi. Terkait dengan substansi hukum, di era ini upaya untuk melakukan perubahan terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebenarnya telah dilakukan, yakni menjadikan KHI sebagai materi rancangan undang-undang hukum terapan peradilan agama, meskipun undang-undang ini belum disyahkan, akan tetapi tetap terus digodok dan disempurnakan.
Sedangkan dalam aspek Budaya Hukumnya,buku ini menitikberatkan pada peranan dan profesionalitas hakim sebagai ujung tombak peradilan dalam pelaksanaan hukum, mengingat kewenagan baru dalam ekonomi syari’ah sehingga kebutuhan akan keterampilan dalam penanganan terkait perkara ini cukup mendesak, selain itu keterbatasan materi hukum mengharuskan hakim untuk bisa selain menerapkan hukum juga menemukan hukum (rechtssvinding) atau bahkan membentuk hukum (rechtsschepping).
Bagi Dr. Jaenal Kuat dan kokohnya status peradilan agama di Indonesia ternyata disebabkan oleh karena desakan faktor kultur masyarakat muslim Indonesia daripada rekayasa dan upaya pihak struktural. Kalaupun ada usaha dari pihak struktural, hal itu lebih bersifat politis akomodatif penguasa terhadap sesuatu yang telah menjadi tradisi dan prilaku masyarakat. Dari penelitiannya ini Dr. Jaenal menelurkan sebuah teori baru yang dia sebut sebagai cultural exixtence theory sebagai teori temuan, difinisi dari teori ini adalah bahwa kokohnya keberadaan (existence) peradilan agama lebih disebabkan karena dorongan social dan budaya (cultural).
Dalam pengertian luas, secara cultural, peradilan agama merupaka sui generis bagi umat islam Indonesia. Ia ada (eksis) karena terkait dan/atau dipengaruhi oleh kultur/budaya masyarakat muslim Indonesia. Sepanjang masyarakat muslim Indonesia ada; patuh dan taat, serta tunduk menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang itu pula peradilan agama akan tetap ada (eksis), meskipun seandainya pihak penguasa berusaha menghapuskan peradilan agama baik secara politis maupun hukum melalui peraturan perundang-undangan, namun peradilan agama akan tetap ada yakni dalam bentuk quasi peradilan.
Begitulah review singkat terhadap isi dari buku yang cukup penting ini, meskipun cukup lengkap buku ini memiliki beberapa kekurangan, sebagaimana sebuah buku yang berasal dari sebuah disertasi, tumpukan tentang pembahasan teori-teorinya saja memakan lebih dari separo halaman buku ini, dan dalam pembahasannya pengulangan-pengulangan teori-teori tersebut tak terhindarkan, padahal dalam permasalahan ini hal-hal yang cukup menarik adalah bagaimana hikayat dibalik sebuah peristiwa itu terjadi, seperti pada bagian yang paling menarik bagi saya untuk disimak adalah pada Bab 17,18 dan 19 tentang proses penyatuatapan peradilan agama ke mahkamah agung.
Pro dan kontra dalam proses ini tidak terekam oleh publik, dan sedikit banyak dikuak oleh Dr. Jaenal, mungkin karena tertutupi oleh hingar bingar politik pada waktu itu. Tak seperti ketika lahirnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada saat itu pro dan kontra terjadi dalam debat publik yang cukup meluas dan terbuka sebagaimana terekam dengan baik dalam buku Peradilan Agama dalam wadah Negara Pancasila: Dialog RUUPA karya Drs.H. Zuffran Sabrie.
Selain itu kesimpulan yang ditelurkan dari penelitian ini (contribution to knowledge) yang menyatakan bahwa eksistensi peradilan agama sangat tergantung pada aspek budaya masyarakat muslim dalam menjalankan hukum Islam (cultural exixtance theory) juga masih belum terlalu kuat bagi saya untuk mematahkan teori-teori sebelumnya, Daniel S Lev misalnya yang menyatakan aspek politik yang lebih menentukan. Dalam aspek Hukum materil (legal substance) mungkin iya, tapi dari segi eksistensi kelembagaan (legal structure) menurut saya aspek politik yang menentukan.
Terlepas dari sedikit kekurangan diatas, sama sekali tak mengurangi arti penting buku ini dalam diskursus mutakhir dan aktual tentang peradilan agama khususnya dan hukum islam pada umumnya dalam konsepsi ketatanegaraan yang konstitusional di Indonesia. Selamat membaca!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar